Balaslah
kejahatan dengan kebaikan, nescaya kamu akan melihat dua orang bermusuhan
menjadi saudara yang rapat. Wah, indah bunyinya! Namun merealisasikannya tidak
semudah yang disangkakan. Bak kata orang pasu yang pecah, kalau dicantum tidak
akan pernah kembali ke bentuk asal yang sempurna. Menyebut namanya sudah terasa
berat, senyum pun mungkin tak seikhlas dulu.
Namun,
jika anda ingin membalas kejahatan dengan kebaikan, ibaratkanlah diri anda
seperti air atau angin yang tetap kembali ke bentuk asal walau ditetak
berkali-kali. Ia terus mengalirkan kebaikan demi kebaikan kepada kawan mahu pun
lawan.
Suatu
ketika pelayan Imam Hasan Al-Bashri menyampaikan bahwa seseorang telah menjelek-jelekkan
namanya. Mendengar hal tersebut, sang Imam kemudian memanggil pelayan dan
memintanya untuk memberikan kurma pada orang tersebut. Pelayan berkata, “wahai
imam, bukankah dia telah menjelekkanmu di hadapan orang banyak. Tapi kenapa
engkau malah memberinya kurma?” Sang imam pun menjawab, “Bukankah sudah
sepantasnya aku memberikan hadiah bagi orang yang telah membuat diriku di sisi
Allah SWT”.
“Apa
maksud semua ini wahai Jibril?” Tanya Rasul SAW pun ketika turun ayat: “Jadilah
engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf serta berpalinglah
dari pada orang-orang yang bodoh” (Al-A’raf: 199). Jibril pun menjawab,
“Wahai Rasul Allah, sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu untuk memaafkan
orang yang menzalimimu, memberi kepada orang yang pelit kepadamu, dan
menyambung silaturahim kepada orang yang memutuskannya denganmu”.
Jadilah
pribadi yang tenang dan menenangkan. Bukan pribadi yang gelisah dan penuh
amarah. Tenang bukan berarti tidak mampu, tenang bukan berarti kalah, tenang
bukan berarti lambat. Tenang adalah seni menyampaikan kritikan dengan bahasa
yang lembut, tenang adalah penyampaian fakta keras dengan cara yang lembut,
tenang adalah penolakan berat dengan cara yang ringan. Itulah yang ditunjukkan
oleh Rasul SAW ketika penduduk Thaif melempari beliau dengan batu. Beliau malah
berdoa, “Allahummahdii qawmii fainnahum laa ya’lamuun” (Ya Allah berilah
hidayah kepada kaumku ini, karena sesungguhnya mereka tidak tahu apa-apa).
Memang
bukan perkara yang mudah untuk menahan marah atau emosi. Apalagi kemudian
membalasnya dengan hal yang sebaliknya. Tidak semua orang mampu melakukannya.
Sehingga ketika Abdullah bin Amr menanyakan hal apakah yang bisa menjauhkannya
dari murka Allah? Rasulullah menjawab: “Laa taghdhab (Janganlah kau marah)” (HR
Imam Ahmad)
Dalam
satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tentang keutamaan puasa,
Rasulullah SAW bersabda: “…Jika ada seseorang yang mencaci dan mengajak
berkelahi maka katakanlah, “Saya sedang berpuasa. Demi Zat yang jiwaku berada
di genggaman Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi
Allah daripada bau minyak kasturi….”. (HR Bukhari).
Mulut
yang senantiasa mengucapkan kata-kata indah bukan kata-kata kotor, kata-kata
yang menyejukkan bukan yang menyakiti, kata-kata yang menenangkan bukan yang
menggelisahkan, kata-kata yang memaafkan bukan yang mendendam, kata-kata yang
memuliakan bukan yang menghinakan.
“Dan
tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang
lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan
seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu
tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang
besar” (Surah Fussilat: 34-35).
Sumber:http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/08/24/lqejr9-membalas-keburukan-dengan-kebaikan
No comments:
Post a Comment